Minggu, 25 November 2012

Gunung Api Purba Nglanggeran

Gunung Gedhe. -Photo by Budi Adi

Gunung Gedhe. -Photo by Budi Adi
Bagi temen-temen yang belum pernah ke Gunung Api Purba Nglanggeran, kali ini saya mau pamer kesempatan jalan-jalan saya ke Gunung Api Purba Nglanggeran bulan Februari lalu...

Udah agak basi ya? He he he... Maklum, baru sempat ngisi ini blog.

Gunung Api Purba Nglanggeran atau biasanya disebut Gunung Nglanggeran aja, terletak di Desa Nglanggeran, Patuk, Gunungkidul, Yogyakarta, Indonesia... Cukup lengkap ya alamatnya, biar nggak nyasar ke Mars... :p

Gunung Nglanggeran ini merupakan gunung api purba yang pernah aktif puluhan juta tahun lalu (kayaknya pas jaman dinosaurus gitu deeeh...). Saat ini Gunung Nglanggeran berupa deretan gunung batu guedhe dengan pemandangan cantik serta bentuk dan namanya yang unik. Oleh masyarakat lokal, gunung-gunung itu dinamakan sesuai dengan bentuknya, seperti Gunung Lima Jari, Gunung Kelir, dan Gunung Wayang.

Nggak lama, hanya sekitar 1 sampai 1 setengah jam pendakian, kita akan tiba di puncak barat Gunung Nglanggeran, namanya Gunung Gedhe. Sesuai namanya Gunung Gedhe adalah gunung terbesar di antara gunung-gunung lain. Gunung ini merupakan puncak tertinggi dari Gunung Nglanggeran. Para pendaki sering menggunakan tempat ini untuk tempat istirahat dan berkemah. Pemandangannya cantiiik banget! Sejauh mata memandang yang terlihat hanya hamparan awan di ketinggian, jajaran gunung batu yang gagah, perkampungan warga, serta sawah dan ladang yang hijau.

Pingin ke sana? Nggak jauh kok...

Gunung Nglanggeran hanya 25 km aja dari Jogja. Sekitar 40-50 menit pakai sepeda motor juga udah sampai. Rutenya juga gampang. Kita lewat jalan raya Jogja-Wonosari ke arah Wonosari (lewat Bukit Bintang/Bukit Patuk). Nah, Gunung Nglanggeran hanya sekitar 7 km saja dari Bukit Bintang. Dari Bukit Bintang naik aja terus sampai ketemu Polsek Patuk (Polsek di kanan jalan). Kita belok kiri arah ke Stasiun Relay Indosiar di Desa Ngoro-oro. Ikuti aja jalan mulus itu sampai Puskesmas Patuk II atau biasa disebut Puskesmas Tawang. Nanti belok kanan udah sampai Desa Nglanggeran.

Naaahhh... Deket kaaannn... Ayo pada main ke sana!

Sabtu, 24 November 2012

Beautiful Dangerous Merapi

Pertengahan Oktober lalu, saya bersama Pak Peter dari Jerman dan Daniel dari Prancis, jalan-jalan ke Gunung Merapi.

Ini kali kedua saya menengok Merapi dari zona merah sejak erupsi terakhir dan terparahnya di tahun 2010 lalu. Sedangkan bagi Pak Peter dan Daniel, kesempatan ini benar-benar membuat mereka passionate karena ini adalah jalan-jalan pertama kali mereka ke the one of most active volcano in the world, Merapi!

Kami menginap semalam di Vogels Hostel, Kaliurang. Hostel ini unik banget, lho. Masih mempertahankan rumah kunonya yang berasa era kolonial, paket trekking ke Merapi dan harga yang bersahabat menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan asing maupun domestik.

Pagi-pagi kami harus bangun pukul 4 -masih ngantuk banget. Kami harus mendengarkan penjelasan bapak pemandu tentang rute trekking ke Merapi sambil sarapan pagi. Bapak pemandu, Pak Christian Awuy, menjelaskan kepada kami tentang rintangan-rintangan di medan trekking sekaligus spot-spot dengan pemandangan yang keren. Sudah nggak sabar, nih! Eitsss... Sarapan dulu biar nggak pingsan! Pak Christian sudah menyiapkan roti tawar, pisang, dan teh hangat untuk sarapan kami. Thanks, Pak Christ.

Pukul 5 pagi kami mulai jalan ke Merapi dipandu anaknya Pak Christian (namanya lupa, tapi yang jelas ganteng). :D Mas pemandu kita ini sudah profesional lhooo... Sudah hafal rute, menguasai medan, dan punya jam terbang tinggi! Bayangin aja, Vogels Hostel punya paket daily trekking, so kalau tamunya pas banyak dan pada pingin trekking, sudah bisa dipastikan anaknya Pak Christ bakal naik turun Merapi setiap hari... "Nggak bosen, Mas?"
"Nggak", katanya. Seperti orang Jawa pada umumnya, Merapi yang dianggap sebagai sacred peek, selalu terasa spektakuler setiap hari. Nggak peduli mau dilihat berapa kali, tetep truly one of the worlds most beautiful mountains.

Soal keamanan jangan diragukan. Pemandu profesional akan selalu terhubung dengan tim pemantau aktivitas Gunung Merapi yang akan memberi tahu kita boleh tidaknya kita melanjutkan perjalanan atau bahaya tidaknya situasi di sekitar gunung. So, masnya ini ke mana-mana bawa HT dan terus mengkomunikasikan sampai di mana perjalanan kita dan bagaimana cuaca atau situasi di sekitar kita.


Berapa lama perjalanan pulang pergi trekking ke Merapi? Lima jam! He he he... Ini termasuk cepet lho... Dengan 5 jam, kita bisa trekking dengan kecepatan sedang dan punya waktu cukup untuk istirahat sambil melihat spot-spot luar biasa dari Merapi.
Kata anaknya Pak Christ, ada juga yang sampai lebih dari 5 jam.
"Ngapain aja tuh, Mas?"
"Biasa, Mbak... Dikit-dikit foto, dikit-dikit foto..."
Hag hag hag...

Apa aja yang menarik dari trekking saya ke Merapi bersama Pak Peter dan Daniel? Banyak!

Sunrise yang wow! -Photo by Monica.
Yang jelas, seperti kata Pak Christ dan anaknya, Merapi selalu punya pemandangan spektakuler setiap hari! Ada spot bagus untuk kita lihat sunrise, lhooo... Asal nggak molor berangkatnya, kita bisa lihat sunrise yang keren di tengah perjalanan trekking kita!


Yang lebih serius, sepanjang perjalanan trekking adalah wahana eco tour yang kaya! Anaknya Pak Christ banyak mengenalkan tanaman obat yang tumbuh di sekitar lereng Merapi (sayangnya kebanyakan tanaman hanya disebutkan dengan nama lokalnya, bukan nama latinnya, jadi Pak Peter dan Daniel pada nggak mudheng). Ada tanaman obat yang banyak dikonsumsi masyarakat untuk membersihkan paru-paru. Biasanya banyak dipetik oleh para pecandu rokok. Tanaman lain yang banyak dijumpai misalnya serai (lemongrass), strawberry hutan, dan tanaman jamu-jamuan yang kaya manfaat.


Fosil kayu yang saya temukan. -Photo by Monica.
Bagi para pemerhati batuan, trekking ke Merapi bikin kita banyak ketemu fosil-fosil, terutama yang terjadi akibat aktivitas vulkanis. Salah satunya seperti yang saya temukan, fosil kayu yang membatu (menempel ke batu) akibat dinamika Gunung Merapi.

Apalagi yaaa... Hmmm... Bagi yang sakit-sakitan, he he he... atau yang tertarik sama pengobatan alternatif atau extracting energy (busyet serem banget namanya ya), Pak Christ punya spot bagus buat kita. Ada semacam sungai kering yang batuannya tercipta dari sedimentasi (iya kali ya) lava yang mendingin dan mengeras gitu. Pak Christ percaya, material Merapi punya kandungan mineral dan energi bumi yang bagus. Jadi, kalau sudah sampai di sungai itu kita disarankan untuk lepas sepatu dan nempelin kaki telanjang kita ke batuan-batuan itu. Boleh sambil meditasi atau tiduran. Sinar matahari pagi yang masih sehat dipadukan dengan earth energy dari batuan Merapi katanya bagus buat tubuh kita. Patut dicoba! Asal jangan telanjang terus guling-guling di situ yaaa...
  
Bagi yang minat sama vulkanologi (saya nggak mudheng tentang ini), Merapi merupakan tempat yang oke untuk eksplorasi. Bagaimanapun gunung berapi muda seperti Merapi yang punya aktivitas sepanjang tahun selalu menarik untuk dijadikan obyek belajar. Ya, nggak?

Akhirnya, kurang lebih 5 jam perjalanan, kita berhasil balik lagi ke hostel. Semua dilalui sesuai waktu yang sudah diperkirakan sebelumnya, karena di sepanjang jalan kita nggak banyak foto-foto (Pak Peter nggak hobi sama sesi foto, si Daniel malah lebih parah lagi karena nggak punya kamera -baru kali ini saya temenan sama bule yang nggak punya kamera). Hag hag hag...

Sampai di hostel kita sarapan lagi! Ada nasi goreng, pancake pisang, teh hangat, dan buah potong yang sudah disediakan. Sambil sarapan saya, Pak Peter dan Daniel ngobrol-ngobrol aja -melepas lelah sekaligus berbagi pengalaman perjalanan masing-masing.

Bagi Pak Peter yang workaholic dan stress dengan pekerjaan perbankan di negara sesibuk Singapore, menurut dia kesempatan jalan-jalan ke Merapi kali ini bener-bener luar biasa untuk menghilangkan kepenatan kerjanya. Bagi Daniel, hmmm... Temen saya yang satu ini selow banget lhooo... Hidupnya cuma habis buat jalan-jalan (6 bulan kerja di Prancis, 6 bulan keluar dari Prancis buat dolan-dolan); bagi Daniel jalan-jalan ke Merapi ya cuma sekedar buat nambah list pengalaman dolannya saja. Ha ha ha...
Mungkin sekalian nambah pengalaman dia bertemu dengan berbagai jenis orang, contohnya ketemu Pak Peter yang serius total gini orangnya. (Ketika diceritain tentang kebiasaan dolannya Daniel yang gila-gilaan, dengan cool Pak Peter menjawab, "I can't live like that. I love my job." Ha ha ha... -sedikit menohok ya, Dan?)

Dolan-dolan saya ke Merapi kali ini memang luar biasa. Thanks buat Pak Peter dan Daniel, teman seperjalanan saya yang menyenangkan (yang satu ekstrim serius, yang satu ekstrim nyelelek). Terutama thanks buat Vogels Hostel, Pak Christian Awuy dan anaknya yang sudah menyediakan perjalanan luar biasa ini!

Thanks juga bagi yang sudah baca cerita perjalanan saya ke Merapi.

-Cerita ini saya dedikasikan untuk Mbak Prima, Mas Edwin, dan Noni yang selalu kangen ke Kaliurang


Rute trekking kita. -Photo by Monica.

Daniel, Pak Peter dan saya. -Photo by Monica.

Pemandangan spektakuler setiap hari! -Photo by Monica.

Pak Peter dan Daniel ngobrol dengan mas pemandu, anaknya Pak Christ. -Photo by Monica

Spot yang oke untuk tiduran sekaligus mengekstraksi energi bumi. -Photo by Monica.

Rabu, 07 November 2012

Photos of Thousand Reefs City

Buah Sirih (Piper Bettle) yang banyak dijual di pasar tradisional Timor.
Gula Semut aren. Bentuknya yang unik menjadikan gula tradisional
Timor ini cocok dijadikan oleh-oleh.
Se'i. Daging asap khas Timor ini begitu lezat disajikan
dengan nasi putih, sambal, dan sayur daun atau bunga
pepaya. Tersedia se'i babi dan se'i sapi.
Buah sirih dijual bersama buah pinang dan buah pinang kering.

Bocah penjual cabai di Pasar Inpres Naikoten. "Kakak berburu
berita kah?"

Senyum manis Timor tertangkap frame jepretanku.

Serunya sabung ayam di salah satu lorong Pasar Inpres Naikoten.

Di pinggir pasar yang panas, seorang bocah lelaki menggandeng
seorang pria tua yang buta.

Rabu, 31 Oktober 2012

Singgah di Kota Seribu Karang

Sepanjang perjalanan dengan taksi, di kiri dan kanan, aku hanya melihat karang-karang tajam tumbuh dari dalam tanah. Kota ini mengering dengan hebatnya. Pepohonan yang berdiri meranggas dan panas yang memicingkan mata memberikan lukisan fatamorgana di kejauhan. Syukurlah setelah mendarat di Bandara El Tari Kupang yang mendidih, aku duduk di dalam taksi dengan penyejuk udara yang masih berfungsi baik -sedikit mendinginkan kepalaku yang seakan meledak dan menyegarkan tubuhku sebelum aku menyeretnya kepada petualangan yang lebih panas lagi dengan menantang suhu udara 36 derajat Celcius. Mendengarkan sang sopir taksi berbicara banyak soal hawa panas yang sempat menggila beberapa hari yang lalu, aku tak mau banyak berkomentar. Aku hanya merasa kepanasan dan berpikir bahwa banyak bicara hanya akan semakin membuatku dehidrasi. Kepalaku yang mulai dingin karena AC, bekerja cukup serius dengan memikirkan betapa sibuknya para petugas pemantau titik api –mengantisipasi terjadinya kebakaran besar pada bentang alam kars yang banyak ditumbuhi semak belukar yang tengah mengering diterpa kemarau panjang ini.

Perjalananku dari Jawa ke Pulau Timor tidak begitu melelahkan dengan pesawat udara. Dari Yogyakarta, dengan Air Asia, aku turun di Bandara Ngurah Rai Denpasar, Bali untuk transit. Hanya sekitar satu jam perjalanan saja dari Bandara Adi Sutjipto Yogyakarta ke Bali. Mengganti pesawatku dengan Garuda Indonesia, setelah menempuh jarak kira-kira satu setengah jam di angkasa, aku mendarat di Bandara El Tari Kupang, Nusa Tenggara Timur. Siang itu bandara kecil ini cukup sibuk. Seakan tak begitu peduli akan rasa gerah, ratusan orang berdesak-desakan menanti tas mereka berjalan pada mesin baggage conveyor.

Kotamadya sekaligus ibu kota provinsi Nusa Tenggara Timur ini merupakan kotamadya terbesar di pesisir Teluk Kupang, bagian barat laut Pulau Timor. Sebagai kota terbesar di provinsi Nusa Tenggara Timur, Kupang menghidupi masyarakat multikultur yang terdiri dari pelbagai suku bangsa. Mereka antara lain suku Timor, Rote, Sabu, Tionghoa, Flores, dan kaum pendatang dari Ambon dan Jawa. Aku begitu bergairah. Taksi akan membawaku kepada sebuah kota kecil yang hidup dan berwarna.

Setiap hari, penjual jagung bakar berderet di sepanjang trotoar Jalan El Tari, di depan Kantor Gubernur Nusa Tenggara Timur. Tempat ini menjadi salah satu lokasi favorit pertemuan orang muda Kupang. Aku tinggal di sebuah hotel di Jalan Soeharto dan tidak sulit untuk menemukan oleh-oleh khas Kupang di sekitar situ. Kain tenun dengan corak-corak yang cantik dari beragam daerah se-Nusa Tenggara Timur menjadi pemandangan khas di setiap etalase toko. Mereka memiliki motif yang berbeda-beda, mulai dari Sumba, Kupang, Timor Tengah, Belu, Alor, hingga Rote Ndao. Harga disesuaikan dengan ukuran kain, mulai dari 15.000 rupiah hingga jutaan rupiah. Kekhasan lain adalah miniatur sasando, alat musik petik asal Pulau Rote yang terbuat dari bambu dan anyaman daun lontar yang mewadahinya seperti mangkok. Aku ingat ketika aku masih kecil gambar sasando sempat menghiasi pecahan uang kertas 5000 rupiah. Ada juga miniatur tii langga, 'sombrero'-nya orang Rote. Dibuat secara turun temurun dengan daun lontar, topi adat itu melingkar dengan sebuah tanduk kecil berdiri tegak di atasnya. Sangat gagah.

Kupang. Di sanalah angkot (angkutan kota) yang disebut sebagai bemo, dihias begitu semarak dan berseliweran dengan musik funk-nya yang memekakkan telinga sehingga kendaraan umum ini lebih mirip diskotik keliling. Seperti kebiasaan kebanyakan ‘co-pilot’ angkot di Indonesia, mereka berdiri bergelantungan di pintu angkot dan melambai-lambaikan tangan sambil meneriaki calon penumpang mereka yang menunggu di tepi jalan.

“Ke mana Nona! Ke mana Nona!” Teriak seorang pria muda hitam manis sambil melambai-lambaikan tangannya kepadaku di suatu siang.

Topi koboi dan adegan bergelantungannya di mobil mengingatkanku pada Indiana Jones. Aku tersenyum dan menggeleng kepadanya karena aku lebih memilih untuk jalan kaki. Tetapi dia tidak segera memalingkan kepalanya dariku, malahan menatapku sambil terus tersenyum hingga bemo yang dia gelayuti semakin jauh tak terlihat ditelan jarak pandang.

Aku senang udara panas yang gila ini tidak melelehkan niatku mengumpulkan warna-warni kota kecil di Timor barat ini. Menengok Pasar Inpres Naikoten yang hanya berjarak sekitar 300 meter dari hotel yang kusinggahi, aku menemukan banyak wajah yang tak pernah lepas dari senyum manis. Aku tidak pernah berjalan cukup lama di pasar tradisional. Sampah yang menumpuk, kawanan lalat, genangan air, dan tanah yang becek adalah pemandangan biasa di hampir setiap pasar tradisional Indonesia –dan itu sama sekali tidak menarik minatku.

Tetapi petualanganku di pasar tradisional kali ini serasa begitu berbeda. Di tepi jalan masuk menuju ke pasar aku disambut perempuan berkulit gelap nan manis dengan mulut belepotan merah kejinggaan. Dia mengunyah sirih. Perempuan itu belum begitu tua. Mungkin usianya masih 40 tahunan seperti ibuku. Aku mememeriksa sekeliling dan memang benar aku menemukan beberapa penjual buah sirih, lengkap dengan buah pinang mulai dari yang masih basah hingga yang sudah dikeringkan. Ibu muda yang mengunyah sirih itu menarik perhatianku dan menyeretku semakin masuk ke dalam pasar. Tradisi itu juga kami miliki di Jawa, tetapi kita tahu kita sudah sulit menemukan perempuan muda mengunyah sirih, bahkan di kampung-kampung sekalipun. Aku ingat bahkan mendiang nenekku yang tinggal di kampung juga tidak mengunyah sirih. Dari pemandangan kecil ini aku menyadari bahwa Jawa telah begitu tergerus –bagaimana anjuran dokter gigi moderen begitu mudahnya menggantikan tradisi lawas itu dengan pasta gigi.

“Silakan, Nona! Silakan Nona!” Aku berjalan semakin jauh ke dalam pasar, diiringi panggilan-panggilan di sisi kanan dan kiriku dari para penjual yang menawarkan dagangan mereka. Sayuran dan buah-buahan berwarna cerah dan segar memanjakan mataku. Sesekali aku berhenti untuk melihat-lihat dan bertanya.

“Boleh difoto, boleh difoto!” Kata mereka dengan ramah, melihat kamera yang terkalung di leher aku. Aku menyadari pasar bagai magnet raksasa yang telah menyedot orang-orang beragam identitas menjadi satu. Menggerakkan roda perekonomian akar rumput, di sanalah orang berkumpul dan berinteraksi tanpa memikirkan latar belakang mitra mereka; sesama penjual atau terhadap pembeli.

Ketika sebuah kota dilanda konflik, pasar seakan menjadi 'markas agen perdamaian', karena di sanalah satu-satunya tempat bernaung bagi orang-orang yang berbeda untuk kembali membangun kesejahteraan dan meninggalkan pertikaian yang memiskinkan kehidupan. Di beberapa kasus konflik besar di Indonesia, sebut saja konflik Ambon, pasar menjadi titik kehidupan perdamaian masyarakat. Mereka melupakan siapa Kristen, siapa Islam, dan hanya berpikir untuk bagaimana kehidupan ini menjadi damai sehingga lebih menyejahterakan. Aku telah melihat keberagaman itu diletakkan dengan sangat indah di pasar. Seorang perempuan berjilbab tertawa-tawa dengan rekannya sesama penjual, seorang pria berkalung salib besar di lehernya. Mereka bercanda di siang yang terik itu.

“Hai Nona! Fotolah nona yang berbaju kuning itu!” Teriak si pria berkalung salib kepadaku sambil menunjuk rekannya si perempuan berjilbab.

“Dia cantik, cocok jadi artis Take Me Out Celebrity!” Lanjutnya. Bahasa Indonesianya sangat khas, bercampur dengan bahasa daerah dan logat Timor yang kental.

Mereka terbahak-bahak bersama di depan pelancong kecil berkamera besar di leher yang terengah-engah kepanasan. Hai! Indah, bukan? Ini di pasar! Dan agen perdamaian itu justru bukan orang-orang yang duduk mengelilingi meja diplomasi. Padahal tidak jauh dari situ, aku telah mendengar bagaimana sebuah masjid di kelurahan kecil di Kota Kupang hampir gagal dibangun karena penolakan masyarakat sekitarnya –aku memahami betul bagaimana dimanapun kecongkakan umat mayoritas selalu menimbulkan masalah dan aku telah melihat betul bagaimana pasar bekerja dengan baik meluruhkan habis perbedaan-perbedaan yang potensial menimbulkan konflik berdarah-darah itu.

Pasar itu menyimpan banyak orang yang mudah tersenyum kepadaku, yang membuatku makin betah berlama-lama berkeliling di dalamnya. Seorang bapak penjual ikan menunjukkan kepadaku seekor ikan tuna raksasa dan memberikan sinyal bahwa aku boleh memotretnya.

“Ini termasuk ukuran kecil. Masih ada yang lebih besar lagi!” Senyumnya bangga.

Di sini hasil laut begitu kaya. Aku telah berkeliaran ke Pasar Malam Kampung Selor semalam. Jangan bayangkan Pasar Malam seperti taman ria di Jawa yang membuka wahana permainan bianglala atau kuda putar. Pasar Malam di Jalan Garuda yang mulai buka pukul 17:00 WIT ini adalah tempat favorit warga Kupang memanjakan lidah mereka dengan dinner yang nikmat. Di siang hari, kawasan yang dihuni oleh sebagian besar kaum pendatang ini adalah ‘china town’, sebuah pertokoan dengan beragam komoditas, mulai dari makanan kecil hingga perlengkapan rumah tangga. Begitu semarak.

Pasar yang terletak di sisi selatan pantai ini memang didominasi sajian masakan Jawa seperti pecel lele atau bakso, tetapi sea food adalah menu utama yang selalu menjadi primadona bagi siapa saja yang singgah makan malam di sana. Udang dan cumi-cumi beraroma manis ketika dibakar dan membangkitkan selera makan. Ikan bakar berukuran besar plus sambal khas Kupang dengan harga yang bersahabat cukup mengesankan pada makan malam pertamaku di kota ini. Sekedar mengingatkan, sei tidak boleh dilewatkan di kota ini. Daging sapi atau babi yang diasap dan dicampur susu, garam, dan rempah-rempah ini begitu empuk dan lezat.

Masih di Pasar Inpres Naikoten, aku memotret seorang pria manis penjual ikan. Dia memintaku memotretnya. Rekan-rekannya tertawa dan menggodanya ketika kameraku menangkap wajahnya yang khas. Mereka tersimpan begitu ceria di frame jepretanku. Aku mulai terbiasa dengan kerenyahan tawa mereka. Aku berpikir bahwa mereka selalu tertawa sepanjang hari. Aku merasa petualanganku di kota ini begitu menghibur. Bemo yang berisik dengan musik diskonya, keriaan di mana-mana, gereja-gereja kecil yang selalu hingar bingar, sejuta alasan untuk ‘mengumpat’ “Oh Tuhan Yesus!” mulai dari kaget diklakson bemo yang ugal-ugalan hingga terpeleset kulit pisang... Hidup ini memiliki kelucuan yang selalu mengajak kita berhenti sejenak dari lelah hidup, bukan?

Berpamitan kepada pasar, aku seakan dikembalikan kepada bagaimana hidup ini selalu menyimpan kisah-kisah menyentuh yang menjadi penyeimbang –tidak selamanya juga kita bisa tertawa atau bahagia. Awalnya mereka menggelitikku. Tawa bocah-bocah kecil itu sungguh jauh dari kekhawatiran. Mereka menjagai beberapa kaleng cabai sambil bercanda. Aku memotret mereka. Salah seorang dari mereka lari menghindari kameraku.

“Beta malu-malu!” Teriaknya sambil tertawa.

Teman-temannya menertawakan dia. Salah seorang dari mereka tertarik kepada kameraku.

“Kakak berburu berita-kah?”

Aku tersenyum. Tak menghiraukan pertanyaan bocah itu, aku mendekatinya, merangkul bahunya dan bertanya, “Kamu kelas berapa?"

“Beta sonde sekolah.” Jawabnya.

Dia tidak sekolah. Jawaban itu menahanku bertanya lebih lanjut –menyentakkan aku kepada rasa trenyuh dan pikiran mendalam bagaimana bocah-bocah itu tercerabut dari masa kecil mereka dan harus bergelut dengan dunia orang dewasa; kehidupan pasar dan segala carut marutnya. Tetapi gelak tawa mereka sungguh lepas dan terdengar jauh dari kecemasan.

Di sudut pasar yang segera aku tinggalkan, sekelompok orang mengerumuni kartu judi. Di sudut yang lain beberapa orang bertepuk tangan mengelilingi dua ekor ayam jantan yang tengah beradu. Di pinggir pasar aku bertemu bocah kecil berkopiah putih menuntun seorang pria tua buta...

Aku menyingkir beberapa kilometer ke Pantai Kelapa Lima -sejenak mengindar dari riuh kota dengan segala tetek bengek masalahnya, berpaling kepada senja cantik yang damai. Pantai yang surut membuka arena bagi anak-anak untuk bermain atau berlarian. Kegemaranku adalah meneliti sampah yang terdampar. Mulai dari bungkus makanan, sikat gigi, pistol mainan, hingga celana dalam pria. Segala sesuatu membuat aku tergelitik untuk bertanya bagaimana petualangan barang-barang pribadi itu bermula hingga teraduk laut dan sampai di pantai ini? Aku tersenyum sendiri.

Dari Pantai Kelapa Lima, aku bergeser ke timur menuju pantai Lai Lai Besi Kopan (LLBK). Dikembangkan oleh Teddy Tanone pada awalnya, pantai yang sesungguhnya bernama Pantai Koepang ini akhirnya lebih dikenal sebagai Pantai Teddy’s. Hampir sama dengan di Jalan El Tari, Teddy’s memiliki kekhasan jajanan berupa jagung bakar yang disatroni oleh sebagian besar orang muda di setiap sore. Di jaman Belanda, Lai Lai Besi Kopan dulunya adalah sebuah dermaga. Di sana, di bantaran kiri teluk, Benteng Concordia berdiri kokoh di atas tebing karang menghadap ke laut. Kini sisa benteng Belanda itu menjadi Markas Yonif 743/Praja Satya Yudha Kupang. Aku menatapnya dari seberang tebing.

Sudah seminggu aku singgah di kota yang mempesona ini. Pantai pasir putih yang indah, laut biru yang cantik, perahu warna-warni yang terombang-ambing tenang... Sambil terdengar sayup-sayup lagu Timor, semua itu membangkitkan rasa romantisme Flobamora. Burung camar menukik sendirian dari ceruk gua karang di bawah benteng dan sesekali menyambar ke air. Sepasang suami istri berjalan di pasir mengikuti anak mereka yang berlarian kecil. Sang Bapak menangkap bocah itu, dan mengangkatnya ke gendongan. Berpasang-pasang remaja bercengkerama menatap senja. Aku selalu sendirian. “Tetapi suatu saat nanti, beta akan kembali lagi.”